KAMI INDONESIA – Situasi di Senayan semakin memanas setelah Ahmad Sahroni, politisi dari Partai NasDem, mendapatkan kritikan tajam terkait pernyataannya yang dinilai merendahkan masyarakat. Dalam konteks ini, Salsa Erwina Hutagalung, lulusan terbaik Universitas Gadjah Mada, menantang Sahroni untuk mengadakan debat publik mengenai tunjangan DPR.
Kemarahan publik meningkat seiring pengalokasian anggaran sebesar Rp9,96 triliun untuk DPR RI dalam APBN 2025, yang menuai pertanyaan mengenai kontribusi nyata DPR dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di tengah defisit anggaran.
Tunjangan DPR dalam Sorotan Publik
Anggaran yang dipertimbangkan fantastis, sebesar Rp9,96 triliun, menunjukkan pentingnya transparansi dan pertanggungjawaban DPR kepada masyarakat. Masyarakat menilai DPR sering gagal dalam menangani isu-isu mendesak seperti kemiskinan dan ketidakadilan sosial.
Banyak kritik yang dilontarkan terhadap DPR karena hasil kerja mereka dianggap tidak sebanding dengan tunjangan dan fasilitas yang mereka terima. Hal ini menciptakan ketidaksenangan di kalangan publik yang mendorong tuntutan akan transparansi dalam lembaga legislatif.
Selain itu, banyak suara menuntut agar DPR lebih fokus pada penyelesaian masalah nyata yang dihadapi rakyat, bukan sekadar menikmati tunjangan yang diberikan.
Tantangan Debat dari Salsa Erwina
Salsa Erwina Hutagalung, dengan reputasi sebagai debater berprestasi, mengajukan tantangan kepada Ahmad Sahroni untuk berdiskusi secara terbuka mengenai dampak tunjangan DPR. Ia menginginkan forum untuk mengeksplorasi relevansi tunjangan tersebut bagi masyarakat.
Ia menetapkan syarat, jika Sahroni kalah dalam debat, tunjangan itu harus dicabut. Sebaliknya, jika dirinya kalah, ia bersedia mendukung tunjangan tersebut, menunjukkan keseriusannya dalam menyuarakan isu ini.
Melalui langkah ini, Salsa bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pembahasan mendalam mengenai penggunaan anggaran yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat.
Kritik terhadap Gaya Hidup Politisi
Salsa turut menyoroti pernyataan Ahmad Sahroni tentang pentingnya menjunjung tinggi adat dan tradisi, yang ia nilai tidak sehat apabila tidak diimbangi dengan tindakan nyata. Ia berpendapat bahwa prinsip adat yang sejati adalah solidaritas serta kesejahteraan, bukan korupsi.
Ia juga menunjukkan kekhawatiran terhadap gaya hidup glamor yang ditampilkan Sahroni melalui media sosial, termasuk koleksi kendaraan mewah. “Kalau sudah kaya raya dan menyebut diri sebagai ‘crazy rich’, mengapa masih mempertahankan tunjangan DPR yang bersumber dari pajak rakyat?” ungkap Salsa.
Selain itu, Salsa mengingatkan Sahroni untuk mempelajari sejarah dan melihat kembali peristiwa tahun 1998 yang membuktikan bahwa kekuasaan yang abai terhadap rakyat akhirnya akan jatuh. “Diktator pun tumbang karena sombong dan abai,” jelasnya.