KAMI INDONESIA – Isu royalti musik kembali mencuat setelah sebuah kasus tuntutan yang mengharuskan seorang pengusaha membayar royalti sebesar Rp 2 miliar. Reaksi ini memicu pelaku usaha untuk meninjau kembali keputusan memutar musik di gerai mereka.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budiharjo Iduansjah, memberi instruksi agar semua gerainya tidak memutar musik akibat tingginya tarif royalti yang berlaku. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan pengusaha.
Ketidakpuasan Terhadap Tarif Royalti
Budiharjo Iduansjah menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan komunikasi dengan Lembaga Manajemen Koletif Nasional (LMKN) namun tidak mencapai kesepakatan mengenai tarif royalti. ‘Kami dari tahun lalu sudah kirim surat, dan dari LMKN sudah membalas surat kami. Kami mau membayar, namun tarif yang kami tawar tidak disetujui,’ ungkap Budi.
Ia menyoroti pentingnya adanya ruang untuk negosiasi dalam menentukan tarif royalti karena harga yang ditawarkan saat ini dianggap tidak terjangkau oleh penyewa tenant. ‘Menurut kami, itu saatnya tidak tepat. Harganya harus lebih bisa nego, yang penting kita mau bayar,’ katanya.
Di sisi lain, Budi juga menekankan bahwa pihak penyewa belum membebankan biaya royalti kepada konsumen. Sebagai alternatif, mereka masih mengenakan pajak layanan restoran sebesar 10%. ‘Sampai sekarang kami belum melakukan pembebanan (ke konsumen). Tapi kalau yang namanya PB1 ya pasti konsumen (yang bayar), kalau restoran 10%,’ jelasnya.
Keberatan atas Royalti Jingle
Ketidakpuasan Budi tidak hanya terfokus pada tarif royalti untuk musik, tetapi juga pada kewajiban membayar royalti atas jingle yang sudah diciptakan oleh perusahaan. ‘Kami punya jingle, kamu bayar sudah. Jingle itu ‘kan haknya kami, itu pun disuruh bayar,’ katanya.
Ia menekankan bahwa ini adalah ketidakadilan karena perusahaan sudah membayar semua biaya terkait pembuatan jingle tersebut. ‘Kami kurang setuju di situ, karena kami sudah membayar penyanyinya dan lagunya, semua sudah kita bayar, itu hak ciptanya ada di kami,’ bebernya.
Menyikapi hal ini, Budi berharap adanya pengertian dari pihak LMKN terkait kondisi para pengusaha yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut, agar tidak membebani industri secara berlebihan.
Implikasi Bagi Industri
Kondisi ini memperlihatkan ketidakpuasan dari pengusaha terkait regulasi royalti musik yang dinilai memberatkan, terutama dalam situasi ekonomi saat ini. Budi berharap adanya dialog yang lebih terbuka antara LMKN dan pebisnis untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Keputusan para pengusaha untuk tidak memutar musik di gerai mereka berpotensi memberikan dampak negatif pada pengalaman konsumen. Banyak yang mencemaskan bahwa hal ini dapat membatasi atmosfer di restoran dan pusat perbelanjaan, di mana musik sering kali menjadi bagian penting dari pengalaman berbelanja dan bersantap.
Dengan tidak adanya musik, suasana yang biasanya dinamis dan menyenangkan bisa berubah menjadi monoton, yang pada akhirnya dapat memengaruhi jumlah pengunjung dan pendapatan bagi para pelaku usaha.